Thursday, September 14, 2017

Jelajah Cirebon Part #2 dari 9 : Waterland Ade Irma Suryani dan Nasi Jamblang Bu Nur


Cirebon yang berpenduduk sekitar 400.000 jiwa, berada pada ketinggian 5 meter DPL.  Memiliki lokasi strategis, di pesisir utara Pulau Jawa atau yang dikenal dengan jalur pantura yang menghubungkan Jakarta-Cirebon-Semarang-Surabaya. Pada awalnya Cirebon berasal dari kata Sarumban, sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa. Lama-kelamaan Cirebon berkembang menjadi sebuah desa yang ramai yang kemudian diberi nama Caruban (Carub dalam bahasa Cirebon artinya bersatu padu). Diberi nama demikian karena di sana bercampur para pendatang dari beraneka bangsa diantaranya Sunda, Jawa, Tionghoa, dan unsur-unsur budaya bangsa Arab), agama, bahasa, dan adat istiadat. kemudian pelafalan kata Caruban berubah lagi menjadi Carbon dan kemudian Cerbon, sampai akhirnya menjadi Cirebon.

Namun versi lain agak berbeda, konon nama tersebut dikarenakan sejak awal mata pencaharian sebagian besar masyarakat adalah nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai, serta pembuatan terasi, petis dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi atau yang dalam bahasa Cirebon disebut (belendrang) yang terbuat dari sisa pengolahan udang rebon inilah berkembang sebutan Cai- Rebon (bahasa sunda : Air Rebon), yang kemudian menjadi Cirebon. Saat ini Cirebon memiliki 5 kecamatan yakni Harjamukti, Kejaksan, Kesambi, Lemahwungkuk dan Pekalipan.

Karena cuaca relatif masih siang, dan perut masih terasa kenyang setelah diisi dengan Baso Tahu Tulen di tol GT Pasteur, maka kami memutuskan untuk menjelajahi dulu Waterland di Jl. Yos Sudarso No.1, Lemahwungkuk. Sebenarnya lokasi ini lah yang pertama kali membuat kami tertarik ke Cirebon, namun di  situs perjalanan, banyak yang tidak puas dengan layanannya meski rata-rata pengunjung cukup mengapresiasi arsitekturnya. Keluhan yang kami baca antara lain, layanan lambat, ac unit tidak berfungsi baik, pasokan air ke unit tidak stabil atau bahkan mati, dll.



Di sini nyaris semua jenis kolam renang tersedia, mulai dari yang standar olimpiade, kolam main, air  mancur sd air terjun. Di bagian tengah resort pada sisi yang menghadap ke laut terdapat sebuah restoran besar berbentuk perahu yang dikelilingi cottage-cottage diatas permukaan laut. Sayangnya airnya berwarna coklat, kalau di Malaysia Kingdom of Chocolate menjadi andalan, di Cirebon bahkan lebih hebat lagi, alias Ocean of Chocolate canda saya pada Si Bungsu.



Daripada membayar tiket masuk yang tetap harus dibayar meski hanya untuk melihat-lihat, kami memilih menikmati hidangan ringan di restoran Kapal Tomodachi sehingga tetap dapat menikmati arsitektur lokasi ini secara gratis. Mengamati kualitas bangunan, menurut saya cottage disini terlihat rapi, antara cottage satu dengan yang lain dihubungkan dengan dermaga kayu. Lalu terlihat semacam gedung serba guna agak menjorok ke tengah laut, dan sebuah dermaga artistik kayu yang lebih menjorok lagi ke tengah laut.  



Disini kami hanya memesan 1 porsi Bitter Ballen, 1 porsi Chicken Wings, 1 Let Shake Pinky, 1 Mint Mojito, 2 Orange Squash, dan 1 Hot Chocolate. Banana Split Ice Cream yang kami pesan tak kunjung-datang, dan ketika ditanya, tanpa ekspresi maaf,  para pelayan restoran cuma saling melempar satu sama lain, lalu dengan dinginnya menjawab kalau pisangnya habis.  Hemm aneh juga, tidak ada yang konfirmasi soal pisang ini, sepertinya komplain dalam situs perjalanan yang kami baca ada benarnya.  Untuk semua makanan dan minuman diatas kami membayar Rp. 140.875.






Setelah menunaikan shalat Ashar, dari sini kami langsung meluncur ke Nasi Jamblang Bu Nur yang berlokasi di Jl. Cangkring 2 No.34, Kejaksan, kurang lebih 3 km dari Waterland dan akhirnya kami sampai sekitar jam 17:37. Sayang sepertinya kami kurang beruntung, sebagian besar menu sudah habis, dari sekitar 30 an menu, hanya tersedia sekitar lima menu lagi, termasuk Semur Daging Sapi, Ikan Tuna dan Nasi. Menu-menu seperti Tahu, Tempe, Semur Telor, Sate Kentang, Sate Usus, Sate Kerang, Cumi, Sate Udang, Perkedel Basah/Kering/Jagung, Semur Lidah/Hati/Limpa Sapi, Pepes Jamur/Ayam/Usus, dll habis tak bersisa. Untung di bagian depan masih ada Es Durian Tjampolay, ya karena sudah lapar kami makan apa adanya. Total biaya makan disini sekitar 90.000 plus Es Durian Tjampolay 20.000 per gelas. Sebenarnya di bagian depan masih ada Empal Gentong Bu Nur, namun istri lebih merekomendasikan Empal Gentong Haji Apud. 



No comments: