Tuesday, July 11, 2017

Jelajah Nusa Tenggara Timur Part #7 dari 12 : Berlayar ke Pulau Kanawa



Pagi-pagi setelah sarapan, kami ke taman bagian belakang, kejutan,  melihat betapa taman-nya menyatu dengan pantai berpasir halus dan kontur landai serta terlihat kapal-kapal yang berlayar dikejauhan. Sepertinya Hotel Bintang Flores ini beruntung memiliki lokasi yang indah. Suasananya mirip dengan Sheraton Senggigi di Lombok.




Sekitar jam 08:30 kami check out lalu bersama Nana Stan memasukkan barang-barang ke bagasi dan meluncur menuju pelabuhan. Di depan pelabuhan kami berhenti di sebuah toko kecil, dan membeli beberapa perlengkapan dan snack, seperti happy tos, keripik singkong “ku suka”, teh botol, dan beberapa kaleng minuman ringan. Lalu kami menuju kapal, dan hati saya terasa berdebar, entah petualangan apa pula yang akan kami hadapi kali ini.




Sejujurnya saya mengira kapal yang kami gunakan adalah jenis Phinisi yang sudah dimodifikasi, namun melihat tidak ada nya tiang kembar berbentuk huruf “Y”, sepertinya kapal Rana Leba demikian nama kapal kami, bukan jenis Phinisi karena hanya memiliki satu tiang dibagian depan. Kalau dibandingkan dengan Phinisi yang kami lihat disekitar pelabuhannya, ukurannya juga agak tanggung, terbukti untuk berjalan di gang samping kapal, perut sampai bergesekan dengan pagar kapal, uniknya gang kanan lebih sempit dari gang kiri.



Kapal yang baru berusia 1 tahun ini, memiliki 2,5 lantai, setengah lantai terbawah untuk ruangan mesin yang ternyata berukuran cukup besar alias sekitar 4x mesin mobil. Lantai 1 terdiri dari bagian depan dimana kita bisa duduk dan kadang menikmati santapan. Lalu kamar penumpang #1, kamar penumpang #2, ruang mesin yang dibagian atasnya merupakan ruang kapten dengan jendela menghadap laut lepas, kamar mandi, ruang istirahat ABK, dapur dan meja serta kursi panjang yang kadang juga digunakan untuk menikmati santapan. Lantai paling atas, tersedia sepasang kursi malas untuk berselonjor yang membelakangi jendela ruang kapten.




Kapal ini memiliki 3 personil, Kapten Amal pria 45 tahunan, keturunan Bajo dengan penampilan sangar berbadan gempal, bekas luka sayatan di dagu,  serta tatto mata angin di tengkuk, Nana Ilik pemuda 18 tahunan berbadan kurus dengan anting sebelah dan rambut keriting kepirang-pirangan, dihiasi tatto mulai dari betis, lengan bahkan sampai leher, dan yang terakhir Kraeng Herman pria kurus dengan usia 50 tahunan, berwajah pasrah dan pendiam. Jujur saja, kalau model Kapten Amal dan Nana Ilik ada di Jakarta, anda tidak akan bisa membedakannya dengan preman Tanjung Priok. Namun dalam perjalanan ternyata semuanya sangat sopan dan ramah.

Nana Stan menawarkan minuman air kemasan bermerk Ruteng, sambil bercanda, siapa saja yang minum air kemasan produksi Flores ini, akan selalu merindukan Flores kelak. Ruteng sendiri adalah salah satu kota di Flores selain Ende, Labuan Bajo, Bajawa, Maumere, dan lain-lain. Minuman ini lah yang terus menerus kami konsumsi selama di kapal. 

Lalu kapalpun mulai berlayar, eh baru saja meninggalkan pelabuhan, mendadak Kapten Amal dengan wajah gusar memerintahkan kapal kembali ke pelabuhan. Ternyata ada mis koordinasi, Kapten Amal mengira kami hanya 1 malam 2 hari, sehingga perbekalan sama sekali tidak mencukupi, karena sesuai skedul seharusnya 2 malam 3 hari. Lalu Kraeng Herman kembali turun untuk berbelanja tambahan ikan, beras dan sayur-sayuran. Mendadak anak-anak mengingatkan bahwa akan lebih aman jika  kami juga menyediakan mie instan, sehingga saya kembali ke toko, dan memesan beberapa bungkus mie instan berbagai rasa serta juga pop mie.

Tak lama Kraeng Herman pun kembali dari belanja persediaan makanan, kamipun memulai perjalanan kembali, eh malang tak dapat ditolak kali ini  mesin kapal kemasukan air, sehingga harus diperbaiki. Setelah dua jam tanpa hasil, akhirnya Mas Kris sebagai koordinator mengirim speed boat untuk kami pakai menuju Pulau Kanawa. Kami meninggalkan nyaris semua perlengkapan dan hanya membawa kamera, pakaian renang, dompet dan perlengkapan snorkling. Jarak Kanawa ke Labuan Bajo kurang lebih 14 kilometer, sepanjang jalan nampak pulau-pulau kecil lainnya berserak memenuhi kawasan ini.






Tak lama sekitar jam 11:00 Pulau Kanawa yang berukuran 32 hektar, pun terlihat jelas, khususnya dermaga kayunya yang panjang dan lurus, dan memungkinkan kapal untuk langsung merapat tanpa beresiko jangkarnya merusak koral tempat ikan-ikan hias bersarang.  Kita bisa langsung snorkling dari dermaga tanpa harus khawatir sepatu katak kemasukan pasir, hal yang sering terjadi jika kita memulai snorkling dari pantai.

Karena pelampung tertinggal, maka Nana Stan menyewa satu pelampung tambahan, kebetulan memang hanya istri yang masih mememerlukan pelampung.  Berbeda dengan Pulau Rubiah di Banda Aceh yang ikannya berwarna warni, di Pulau Kanawa yang menyongsong kami kebanyakan ikan berwarna hitam. Setelah snorkling sepuasnya sampai menjelang siang, kami segera berkunjung ke restoran sekaligus resort satu-satunya di Pulau Kanawa sambil menunggu kapal kami selesai. Kejutan buat kami hanya untuk 2 Water Melon + 1 Sprite, biaya yang harus dikeluarkan yakni Rp. 123.900. Sempat saya lihat dari 14 bungalow, ada lima yang sedang digunakan wisatawan, nama dan negara asalnya terpampang jelas, England, Poland, Italy dan France serta negara Eropa lainnya

Pulau Kanawa yang memiliki dua bukit kecil ini tadinya dikelola oleh pengusaha asal Italia, dia lalu membuat 14 bungalow yang tersebar di pantai. Sementara di pasir putih dia juga menempatkan kursi istirahat dilengkapi payung, termasuk dermaga yang memudahkan kapal untuk menambatkan tali.  Tersedia juga kapal regular yang datang dan pergi setiap hari untuk memudahkan transportasi penumpang dan barang ke dan dari pulau yang tenang dan indah ini. Jika anda beruntung saat snorkling, anda dapat menyaksikan manta ray, kuda laut, dll. Nana Stan mengatakan dulu untuk masuk kepulau ini ada pungutan Rp 100.000 per orang, namun sejak pengelolaannya beralih ke pemerintah, pungutannya menjadi Rp 100.000 per kapal. 

Karena kapal kami masih juga belum jelas kapan bisa menjemput, sementara waktu makan siang telah tiba, Nana Stan konfirmasi ke Mas Kris, dan segera mendapatkan lampu hijau untuk makan siang di restoran atas biaya travel. Namun menunya banyak yang tak tersedia, karena menunggu kiriman pasokan dari Labuan Bajo, sehingga kami hanya memesan nasi goreng, dan tak jelas berapa yang harus dibayar Nana Stan, dugaan saya mengingat mahalnya harga disini, sepertinya untuk makan siang berlima setidaknya sekitar Rp. 500.000. Plan B seperti ini lah termasuk menyediakan speed boat tambahan, yang menunjukkan apakah travel yang anda pilih memiliki kualitas dan mampu menyediakan solusi pada situasi seperti ini. 


Sambil menunggu jemputan, saya memutuskan untuk berkeliling Pulau Kanawa sendirian, belum sempat berjalan jauh, eh tepat sekitar jam 16:00 ternyata kapal kami akhirnya tiba, jadi setelah menghabiskan 5 jam di Pulau Kanawa kami pun meluncur ke Gili Lawa Darat, namun karena sudah terlalu sore, rencana trekking sunset di Gili Lawa Darat terpaksa di ganti menjadi trekking sunrise.  Tak ingin membuat Kraeng Herman kecewa makan siang yang sudah disiapkan kami santap juga, meski masih kenyang setelah makan di Pulau Kanawa. 




silahkan lanjut ke link berikutnya di http://hipohan.blogspot.co.id/2017/07/jelajah-nusa-tenggara-timur-part-8-dari.html

No comments: