Tuesday, July 11, 2017

Jelajah Nusa Tenggara Timur Part #5 dari 12 : Kelimutu, Muru Keba dan Wologai


Rabu 27/6/2017, jam 03:00 dinihari kami bangun, dan jam 04:00 dini hari Oom Marianus, sudah standby depan penginapan. Namun beliau sempat kaget melihat tidak satupun dari kami yang membawa jaket dan juga senter. Kami juga tidak menyangka hal-hal ini diperlukan, namun rencana tetap harus berjalan, maka kami langsung masuk kendaraan dan Oom Sius segera tancap gas menuju tanjakan ke arah Kelimutu yang berjarak sekitar 11 km dan ditempuh dalam kegelapan selema sekitar setengah jam.

Kiri kanan terlihat begitu gelap, kami sempat melewati jalan berlumpur, dan Oom Sius sempat salah mengambil jalan. Sempat kuatir juga Innova dengan ban agak botak ini bisa melewati jalan tsb. Namun akhirnya kami sampai ke tujuan setelah melewati gerbang masuk, lalu Oom Marianus turun untuk menyelesaikan urusan tiket masuk. Nyaris sepanjang jalan Oom Marianus disapa dan terlihat dikenal oleh nyaris semua orang. 

Pelataran parkirnya bisa menampung sekitar 20 an mobil, sepertinya kami adalah rombongan ketiga yang sampai pertama kali. Tak lama nampak sekitar 7 orang turis Jepang, yang berjaket warna warni lengkap, senter di tangan dan kepala, dan ransel dengan perbekalan penuh, jujur saja saya dan keluarga langsung minder melihat kesiapan rombongan Jepang ini.






Lalu kami mulai berjalan di kegelapan, berbeda dengan Pananjakan di Bromo, jalan setapak ke Puncak Kelimutu lebih mudah didaki, di beberapa tempat sudah diperkuat dengan semen. Si Sulung menyalakan flash di HP nya untuk membantu kami menerangi kegelapan. Angin dingin bertiup kencang, dan nampak plang dengan simbol tengkorak dan sempat membuat kaget. Informasi di plang menyarankan agar kami tidak menempuh rute langsung mendaki keatas. Setiap kali napas terasa habis saya dan istri berdiri diam mengumpulkan tenaga. Jarak pendakian sendiri sekitar 1,5 km dengan selisih tinggi sekitar 104 meter dari lahan parkir sebagai tempat start, sedangkan puncak Kelimutu sebagai titik pengamatan berada di ketinggian 1598 m diatas permukaan laut.







Kelimutu asal katanya  Keli (berarti Gunung) dan Mutu (berarti mendidih) terdiri dari tiga kawah, yang airnya tidak bertambah di musim hujan dan juga tidak berkurang di musim kemarau. Jika gambar yang biasa kita lihat menggambarkan seolah olah ketiga danau bisa dilihat secara bersamaan. faktanya sebagai pejalan kaki kami hanya bisa melihat Danau Kooitainuamuri dan sebagian Danau Alopolo saja, atau Danau Abutu saja. Warnanya sendiri berubah ubah, tergantung kandungan gas di masing-masing kawah, cahaya matahari juga turut mempengaruhi warna danau. Pada saat saya kesana, Kooitainuamuri berwarna hijau terang (dahulu berwarna biru), Alopolo berwarna biru terang (dahulu berwarna merah), sedangkan Abutu kehitaman (dahulu berwarna putih).

Sesampainya di atas, kami segera menunaikan Shalat Subuh dan mulai proses menikmati terbitnya matahari di belakang Danau Kooitainuamuri. Sayang sekali beberapa turis asing memanfaatkan keterlambatan hadirnya petugas jaga, lalu melewati pagar, untuk langsung berdiri persis di pinggir jurang, sekaligus menghalangi ruang pandang para wisatawan lain saat mencoba mengabadikan gambar. Saya sempat menegur dua turis asing, yang cukup mengganggu, setelah kepinggir sebentar tak lama kemudian mereka kembali acuh tak acuh. Sepertinya mereka mengira kamera wide angle 10 mm saya, tak mungkin menangkap posisi mereka. Turis asing lainnya bahkan bukan cuma melompati pagar, namun sengaja meloncat loncat di  tempat dan setinggi mungkin untuk menghasilkan foto ala levitasi.  

Selesai dengan Danau Kooitainuamuri (tempat berkumpul jiwa muda mudi yang sudah meninggal) kami bergegas ke Danau Abutu (tempat berkumpul jiwa-jiwa jahat) lalu terakhir ke Danau Alopolo (tempat berkumpul jiwa jiwa orang tua), sambil jalan pulang kami istirahat sebentar, menikmati pisang goreng nikmat dan kopi di warung tanpa dinding dan tanpa atap, yang setiap warungnya memiliki plang nama pengelolanya.  Lalu kami melanjutkan perjalanan melihat tempat-tempat berikut;

  • Muru Keba, ini merupakan air terjun  yang untuk menempuhnya harus jalan kaki melewati hutan dan savana sepanjang 1,2 km. Kami juga melintasi dua sungai, yang salah satu jembatan bambunya sudah rusak, sehingga cukup sulit dilalui.




  • Desa Adat Wologai, lalu kami menuju salah satu desa adat terbaik  di Ende, dan kebetulan sekali diantar langsung oleh Kepala Desa, karena juru kuncinya berhalangan hadir. Di sini kami melihat batu-batu yang tidak boleh disentuh (karena dipercaya dapat mendatangkan badai), dolmen (batu nisan leluhur), tempat pembuatan anak panah beracun saat pertempuran melawan penjajah Belanda dan Jepang, Pohon Beringin berusia sangat tua dan berbagai bangunan adat lain. Entah bercanda atau tidak, Kepala Desa mengatakan Beringin ini sangat indah di era kejayaan Golkar, dan sekarang sebaliknya. Kepala Desa juga bercerita, kakek beliau sanggup membunuh tiga musuh sekaligus hanya dengan satu tarikan anak panah, dan sanggup menombak Kerbau sampai tembus hanya dengan satu kali tusukan.

  • Rumah Makan Cipta Rasa, sesampai di Ende dengan perut keroncongan kami segera menikmati 1 Ikan Bakar, 1 Kangkung Bunga Pepaya,  1 Porsi Tahu Tempe, 1 Jus Semangka, 5 Jus Sirsak, 1 Cumi Goreng Tepung, 1 Ikan Goreng Tepung, 6 Nasi Putih, bersama Oom Marianus dan Oom Sius. Total biaya makan disini untuk enam orang Rp. 430.000, namun bagi yang berminat makan disini harus benar-benar sabar, karena proses masaknya sangat lama, itu sebabnya Oom Marianus sudah menelepon dua jam sebelumnya, dan itupun ternyata kami masih tetap harus menunggu. Masakannya cukup enak, meski ikan goreng tepungnya agak terlalu asin buat saya. 

No comments: