Wednesday, December 30, 2015

Jelajah Sumatera Part #3 dari 10 : Menuju Palembang

Tanggal : 19/12/2015

Target

  • Pempek VICO – Jalan Letkol Iskandar
  • Jembatan Ampera – Jalan Sutan Mahmud Badaruddin
  • Pasar Kuliner Jembatan Ampera  – Jalan Pasar 16 Ilir
  • Benteng Kuto Besak – Sebelah Utara Sungai Musi (dekat Jembatan Ampera)
  • Martabak Har – Jalan Jendral Sudirman
  • Mie Celor H Syafei – Jalan KH Ahmad Dahlan No 2 6 Ilir
  • Pempek Lenggang Bakar Saga – Jalan Merdeka
  • Souvenir Nyenyes – Jalan Kapten Rivai
  • Pasar Cinde – Jalan Jend Sudirman
Penginapan 

  • Red Planet - Jalan Jend Sudirman 
Kondisi Jalan

  • Total jarak : 484 km / 10 Jam 
  • Melalui Lintas/Pantai Timur :  Maringgai, Menggala dan Pedamaran
  • 85% mulus, ada beberapa rusak berat dan harus dilalui bergantian, esktra hati-hati dengan motor yang mendadak ketengah saat menghindari lubang, dan anak muda kampung yang kebut-kebutan.


Sesuai saran Dani salah satu sahabat kuliah yang cukup sering ke Sumatera Selatan karena istrinya memang berasal dari Palembang, untuk mengejar waktu lebih baik jika kami melewati Pantai/Lintas Timur, namun dengan sendirinya kami tidak sarapan di Bandar Lampung seperti rencana semula.



Menyenangkan sekali saat-saat menyambut sentuhan pertama ban mobil kami ke Tanah Sumatera, dan langsung disambut dengan jalanan naik dan turun serta berkelok kelok, sebuah Pajero Putih dengan cepatnya menyalip kami dan langsung jauh meninggalkan, meski tadinya sempat saya targetkan untuk diikuti. 

Tak lama dengan badan yang lengket oleh keringat, jam 06:45 kami sampai disebuah SPBU, segera kami berhenti untuk cuci muka ala kadarnya, dan membuka bekal rendang yang sudah kami siapkan. Makan dibawah sinar matahari pagi rasanya sungguh nikmat. Pintu bagasi mobil dibuka, dan makanan disiapkan secara prasmanan.  


Lalu perjalanan lanjut kembali, jalan secara umum 90% cukup mulus, dan kami melaju dengan kecepatan sekitar 80 sd 120 km/jam. Namun disini sepeda motor sepertinya transportasi utama, dan penggunanya bisa beragam termasuk ibu-ibu yang belanja ke pasar. Jadi ketika anda sedang kencang-kencangnya bisa saja ada motor melintas dengan kecepatan 40 sd 60 km jam, dan begitu saja pindah ke jalur tengah menghindari jalan bolong. Salah estimasi sempat terdengar suara Brang..! dari sisi kiri, dan ternyata mobil saya menyambar tas belanja ibu-ibu yang mendadak ke tengah. Setelah memastikan dari kaca spion Si Ibu tidak tersungkur, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Belakangan, saya menemukan goresan sekitar 4 cm di fender kiri belakang, sepertinya akibat benturan dengan tas belanja.


Sepanjang jalan banyak sekali Pura, baik yang berukuran kecil maupun yang besar, sepertinya ini merupakan kawasan dengan transmigran asal Bali, semoga saja ini merupakan pertanda baik keberagaman dan bukan dianggap sebagai Hindunisasi Lampung, dan sebaliknya saya teringat kabar wisata syariah yang sempat mendapatkan penolakan di Bali beberapa bulan lalu. Sepertinya kalau namanya diubah menjadi wisata halal, akan lebih pas dan tidak berkonotasi Islamisasi Pulau Dewata. Seharusnya penduduk Bali tidak melihat ini dengan kacamata hitam putih, karena di Thailand pun saat saya kesana awal Desember, ada pekan dan promosi wisata halal, menandakan hal ini memang menjadi trend dalam dunia pariwisata.


Di tengah jalan sekitar jam 08:15, kami berhenti untuk membeli snack pisang karamel dan pisang original, namun karena pisang yang digunakan masih mengkal, snack ini cukup awet dan masih bersisa cukup banyak saat kami sudah kembali ke Bandung.  Sejam kemudian kami berhenti untuk menikmati durian sumatera pertama kami, harganya sekitar 10 ribu sd 15 ribu per butir, dan kembali melanjutkan perjalanan.

Kami sempat berpapasan juga dengan Chevrolet Captiva dengan antena unik berbentuk bulatan dan tulisan Google besar disampingnya. Luar biasa juga Google dalam keseriusan membuat peta dengan akurasi tinggi, sayang karena sinyal kadang putus, terpaksa saya menggunakan peta Google secara manual dengan menggerak-gerakkan peta di layar. Saya tidak sempat memotret penampakan mobil ini, namun di internet saya menemukan mobil yang saya maksud. 





Lalu kami akhirnya sampai di SPBU berikutnya menjelang jam 14:00, dan mandi bergantian. Di Sumatera SPBU nya berukuran besar-besar, dan kita bebas untuk mandi atau bahkan meluruskan badan. Konon kabarnya di SPBU seperti Lahat di Lintas Tengah, jika menjelang tengah malam suasananya sudah seperti Pasar Malam, karena menghindari melewati Lahat saat tengah malam kecuali anda melintas dengan cara konvoy.

Akhirnya kami sampailah di Palembang, dan langsung menuju Pempek VICO melewati Jembatan Ampera. Anak-anak sangat gembira ketika kami akhirnya melintasi jembatan terkenal ini. Jembatan ini memiliki panjang 1.117 meter, dengan lebar 22 meter, dan tinggi sekitar 11,5 meter dari permukaan air. Sedangkan kedua menara memiliki ketinggian 63 meter dengan jarak antara menara 75 meter. Kenapa jembatan ini berdiri, idenya adalah menyambungkan antara Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Itu sebabnya alamat di Palembang sering menyebutkan soal Ulu dan Ilir ini. 



Diresmikan 1965 oleh Bung Karno dan sempat dinamai Jembatan Bung Karno, karena beliaulah yang dinilai sebagai sosok yang berada di balik penyelesaian Jembatan tersebut, namun situasi politik yang berubah menyebabkan nama Jembatan yang didanai dengan Harta Pampasan Perang Jepang ini berubah menjadi Ampera yang merupakan singkatan Amanat Penderitaan Rakyat. Pada awal pembuatan, bagian tengah jembatan dapat terangkat menggunakan bandul pemberat agar kapal besar dapat berlayar di bawahnya, namun karena proses pengangkatan yang sangat lama dan menyebabkan kemacetan, akhirnya kedua bandul tersebut diturunkan. 

Makan di Pempek VICO ternyata enak sekali, khususnya Tek Wan yang disajikan panas-panas, bersama-sama dengan Es Kacang Merah, maka potongan pempek mampir di perut kami yang sudah kelaparan. Satu porsi Tek Wan dihargai Rp. 15.000, Satu Porsi Pempek Telor dihargai Rp. 20.000, sedangkan Es Kacang Merah pergelasnya Rp.15.000. Disini kami menghabiskan Rp. 236.000.





Dari sini kami menuju Jembatan Ampera menyaksikan keriuhan di waktu malam, suasananya sangat ramai, namun tidak tertata dengan baik. Puluhan pedagang liar dan sampah ada dimana-mana, padahal secara landscape, Jembatan ini terlihat indah memesona. Lokasi Jembatan Ampera ini juga berdekatan dengan Benteng Kuto Besak. Tiba-tiba tukang parkir menjadi sangat ramah saat melihat plat D, ternyata ybs memiliki istri asal Sukabumi. 




Benteng Kuto Besak sendiri adalah merupakan Kraton Kesultanan Palembang, dimulai oleh Sultan Mahmud Baharuddin dan diselesaikan oleh Sultan Mahmud Bahauddin serta diresmikan tahun 1797. Saat ini Benteng yang dibuat dengan perekat kapur dan putih telor serta dibangun selama 17 tahun ini ditempati oleh Komando Daerah Militer Sriwijaya.  





Sebelum menuju Hotel Red Planet yang dulu merupakan salah satu group Tune Hotel, kami mampir di Martabak Har, salah satu kuliner terkenal di Palembang. Hanya membeli 2 porsi untuk mengobati rasa penasaran saja, dan ternyata memang kurang cocok buat lidah kami.  Di Red Planet kami memesan dua kamar, dimana Si Bungsu tidur bersama kami, sementara adik sekeluarga menggunakan kamar yang lain, untuk harga kamar kami diminta membayar 2 x Rp. 368.000.



Keesokan paginya kami menuju seputaran Ahmad Dahlan, untuk menikmati Mie Celor H. Syafei, rasanya cukup aneh namun tujuh porsi yang kami pesan habis tidak bersisa. MIe Celor satu porsinya Rp. 15.000, beserta minuman kami menghabiskan Rp 158.000 disini. Minuman paling pas untuk menikmati hidangan ini adalah Teh Susu seharga Rp. 6000 per gelas. 



Lalu lanjut ke Pempek Lenggang Bakar Saga Sudi Mampir, disini kami hanya memesan tiga porsi Lenggang Bakar dan dikeroyok beramai-ramai.  Total yang harus dibayar adalah Rp. 85.000 beserta minuman, dimana setiap porsi pempek bakar harganya adalah Rp. 20.000. 



Dari sini kami menuju Nyenyes, toko souvenir khas Palembang membeli beberapa cindera mata seperti stiker, gantungan kunci, dan pernik-pernik lainnya. Sepertinya pada beberapa kota besar sudah mulai trend, dimana anak-anak muda mencoba mengangkat budaya lokal dengan pernik masa kini, senang rasanya melihat anak-anak muda kreatif ini. Hal yang sama nantinya akan kami lihat di Bukit Tinggi. 

Lalu disebelahnya, Warung Makan Pempek Jolin, kami membeli Pindang Patin, dan Pindang Tulang sebagai bekal makan siang dalam perjalanan berikutnya. Pindang Patin seporsinya Rp. 25.000 sedangkan Pindang Tulang (Iga) seporsinya Rp.30.000, beserta nasi putih total yang harus kami bayar Rp. 87.000. 

Lanjut ke http://hipohan.blogspot.co.id/2015/12/jelajah-sumatera-part-4-dari-10-menuju.html

No comments: