Thursday, August 13, 2015

Menjadi Enterpreneur Part #5 of 7 : Survive Saat Kepepet.


Salah satu aktivitas lari masa kanak-kanak dengan rekor tercepat yang pernah saya lakukan dalam hidup adalah saat dikejar anjing galak, itu benar-benar lari bagaikan angin. Saya tidak pernah berlari secepat itu sebelumnya, namun gonggongan dan moncong anjing yang mendengus-dengus meniup betis saya, memberikan saya “The Power of Kepepet”. 




Balik ke tema kita, menyadari estimasi penyelesaian klinik cukup sulit, maka kami mengatur proses penjualan klinik lama di Blok I3 No 17, dibagi menjadi beberapa tahap, dimana tahap terakhir sengaja kami minta ditunda karena klinik baru belum selesai. Namun setelah sempat berjalan, si pembeli berkeras agar bisa segera menempati klinik lama dan memaksa mempercepat pembayaran fase terakhir, karena beliau juga diminta pindah paksa dari rumah lamanya. Terpaksa saya mengontrak sebuah rumah untuk menampung beliau beserta seluruh barang-nya sambil menunggu penyelesaian klinik baru . Setelah sebulan, lagi-lagi si pembeli memaksa kami untuk keluar, bahkan meminta rumah dibagi menjadi dua, lantai atas ditempati pembeli beserta keluarga sedangkan praktek istri di lantai bawah.  Maka suatu hari di bulan April 2014 tepatnya tanggal 10, dengan terpaksa kami mengatur kepindahan ke klinik baru. 

Si Sulung sangat sedih saat rumah Blok I3 No 17 kami jual, baginya rumah itu menyimpan kenangan yang sulit dilupakan, kamarnya yang beratapkan glass block, dan sering bersuara merdu saat dentingan hujan menari nari diatasnya sangat berbekas di hatinya. Ruang tengah yang didesain dengan levelling, ruang main di lantai atas, dan banyak hal lainnya. Pantas saja lagu "House for Sale" di tahun 1970 an terdengar begitu menyayat, memang tidak mudah melupakan rumah ini, yang kami diami sejak 1997 sampai 2008. Namun hidup harus terus berjalan, dan tidak ada tempat terbaik bagi kenangan selain tersimpan di dalam hati. 





Situasi menjadi sulit, karena klinik baru sebenarnya belum siap, air masih kotor, parkiran belum ada, puluhan tukang bekerja, debu dimana-mana, suara gergaji listrik, pemotong keramik dan pukulan palu. Belum lagi tukang-tukang yang nakal merokok dimana-mana, juga menggunakan kamar mandi pasien. Sehingga saya terpaksa membeli pagar seng membatasi area kerja dan area layanan, meski kadang masih dilanggar. 



Saat perencanaan atap, untuk memenuhi keinginan Mas Priyatna, ternyata penggunaan baja WF bukan hal yang sederhana, setelah konsultasi dengan berbagai vendor baja atap ringan, hampir semuanya menyerah karena bentangannya yang ekstra lebar dan kemiringan kurang dari 5 derajat. Tidak kehilangan akal, saya ingat salah satu customer Metrodata (perusahaan tempat saya bekerja saat itu) bernama BlueScope Steel. Ternyata pimpinan cabang Bandung yakni Pak Rachmat sangat welcome dan sangat nyaman untuk diajak berdiskusi, akhirnya desain berhasil kami finalisasi dengan baik dan disesuaikan dengan produk yang Pak Rachmat miliki.  





Untung saat pembangunan memang dibuat secara modular, sehingga bangunan rawat jalan, fisioterapi dan lab dapat berjalan duluan, sedangkan rawat inap, mess karyawan dan mushalla menyusul. Meski sudah menjual klinik lama,  namun dana yang kami miliki masih saja tidak cukup, sementara pendapatan di saat-saat awal habis untuk membeli persediaan obat dan juga bagi hasil serta gaji karyawan. Setelah diskusi panjang lebar, unit link kami di Prudential pun kami korbankan, empat polis yang sudah ngendon di Prudential selama lebih dari 8 tahun, terpaksa kami amputasi masing-masing setengahnya. 



Setiap akhir minggu seperti saat membangun rumah di Tirtawangi tahun 2008, saya dan istri keliling untuk memilih keramik, kursi tunggu, peralatan kamar mandi, mebel, genset dan lain-lain. Khusus untuk mebel yang sifatnya spesifik kami mengontak Bu Lia, salah satu langganan kami untuk pekerjaan mebeler. Namun di lapangan ternyata terjadi problem komunikasi antara team Pak Yan Sofyan dan Bu Lia, berkali-kali saya mengundang kedua belah pihak, yang masing-masing saling menyudutkan.  







Istri yang sejak awal memang tidak ingin klinik ini dibangun, cukup tertekan dengan situasi finansial kami, sehingga memicu konflik antara kami. Sementara setiap minggu kami terus menerus harus menguras tabungan puluhan bahkan ratusan juta. Namun saya bertahan dan terus berkeras bahwa ini harus selesai apapun yang terjadi. Bagi saya, kami sudah tidak punya jalan mundur, kadang saya ingat kisah Tarikh Ibn Ziyad saat menaklukkan Spanyol dan membakar semua kapal yang mereka gunakan untuk mendarat, agar mendapatkan “The Power of Kepepet”. 




Pada hari pertama pindah, setelah kami melakukan seleksi para pegawai dan meminta tolong pada teman-teman perawat dan juga bidan dari RS Al Ihsan. Akhirnya layanan apotik, kebidanan berjalan, Lalu disusul praktek gigi, internis, fisioterapi dan laboratorium (dengan bantuan teman-teman Kimia Farma). Proses ini dapat berlangsung mulus khususnya untuk farmasi, karena istri sudah meminta mereka magang beberapa bulan sebelum kami pindah. 

Moral of The Story 


  • Saat tidak punya pilihan lain, ternyata saat itulah kemampuan ekstra bisa keluar, dan hal ini umumnya tidak bisa berhasil dalam zona nyaman. Mungkin itu sebabnya salah satu suku di Indonesia yang dikenal sukses secara finansil memiliki tradisi merantau secara turun temurun. Merantau memaksa keluarnya kemampuan maksimal yang kita miliki, untuk bisa bertahan hidup. 



No comments: