Wednesday, July 29, 2015

Inspirasi dari Singapore, Malaysia dan Thailand Part #7 of 9 : Menuju Genting Highlands


Untuk lebih mudah mengelola waktu, kami memutuskan untuk tidak sarapan di Grand Plaza, melainkan langsung check out jam 05:00 pagi dan setelah melewati dua pos imigrasi, sarapan di Rest Area pertama di jalan tol menuju Genting Highlands. 




Benar saja jalanan terlihat macet, saya sengaja tukaran tempat duduk dengan istri agar bisa memotret jembatan ke Pulau Penang, sayangnya saya ketiduran, sehingga gagal mendokumentasikannya.  Dalam perjalanan kami berhenti sebentar di Perak untuk makan di Garden Seafood Restaurant di Perak. Namun bagi saya secara rasa masakannya masih kalah dari Restoran-restoran sebelumnya. Setiap menu sepertinya terlalu manis bagi saya. 








Bu Christine cerita, kalau Genting Highlands dimiliki oleh Lim Goh Tong dan keluarga, dan mereka merupakan keluarga dengan urutan kelima terkaya di Malaysia. Bahkan bukan cuma di Malaysia, Lim Goh Tong juga ekspansi membuka rumah judi di Sentosa Island dan merupakan salah satu pemilik Universal Studios di pulau yang sama. Setelah sukses di Genting Highlands, Lim Goh Tong membuat berbagai perusahaan lain seperti kertas, pembangkit, perumahan, perkebunan, minyak, kapal pesiar dibahwa bendera Genting Bhd. Kapal pesiarnya juga menyediakan fasilitas rumah judi, jadi sambil pesiar duit anda pun di kuras. 

Di beberapa tempat terlihat rencana untuk membuat studio baru, yakni 20th Century Fox World, sepertinya ini akan menjadi momentum bagi Genting Highlands untuk kembali bersinar. Sebelum masuk, Bu Christine mengingatkan kami untuk hati-hati saat di toilet, karena acapkali didatangi orang-orang yang kalah judi dan kehabisan uang, dengan segala cara mereka akan mengiba-iba pada pengunjung untuk meminta ongkos pulang, meski prakteknya akan digunakan kembali untuk berjudi.   

Benar saja, tak lama kemudian nampak seorang China tua mendekati Si Sulung saat baru keluar dari toilet dan berbincang bincang dengan serius. Lalu saya tanya ada apa, "mau pinjam uang untuk pulang katanya pa", cetus Si Sulung dengan ekspresi aneh. Saya mengingatkan Si Sulung apa yang disampaikan oleh Bu Christine. 









Untuk menuju Genting Highlands setinggi 2000 meter, Bis kami harus mendaki sampai ke terminal Cable Car Genting Skyway di Gohtong Jaya, dari sini baru lanjut menuju Genting melalui kabel sepanjang sekitar 3,5 km. Setiap kapsul hanya bisa memuat maksimal delapan penumpang. Lantas kenapa kami mau kesini, tentu karena Genting Skyway, salah satu cable car tercepat di dunia sekaligus terpanjang di Asia. Beruntung karena kami datang saat Genting Skyway memang sedang beroperasi, karena beberapa saat lalu sempat tutup untuk maintenance.




Selain cable car, di Genting Highlands juga ada beberapa hotel seperti Hotel Theme Park, Hotel Resort dan juga Hotel Firstworld dengan 6.118 kamar sekaligus terbesar kedua di dunia. Fasilitas bermainnya antara lain Snow World, Ripley’s Believe It or Not, berbagai permainan anak dll. Namun saya merasa bangunan lama Genting Highlands sepertinya perlu pembenahan serius, terlihat kusam, keramiknya cukup banyak yang pecah-pecah.  Seorang traveller mengatakan bahwa sejak ada Pulau Sentosa, para penjudi lebih memilih berjudi di Singapore. 




Di Ripley's Believe It or Not, sayangnya beberapa fotonya terlihat berjamur, beberapa hal menarik disini antara lain The Leaning Books, The Luckiest Chair, The Fiji Mermaid (dikenal juga sebagai salah satu Greatest Fake in The World dari Barnum Circus), The Spinning Tunnels, The Costume Gallery, Fertility Statues, dan Shrunken Head (Galeri primitif suku Jivaro yang suka merebus kepala musuhnya menjadi kecil). Sepertinya berkunjung malam hari dan sendirian disini cukup membuat bulu roma berdiri.  

Malamnya kami kembali ke Mandarin Pacific Hotel, dan karena sudah kepayahan kami memutuskan tidak eksplorasi Petaling Street mencari makan malam, melainkan memasak sebagian bekal kami dalam kamar, seperti rendang, bubur sapi instan, dll. Namun istri sempat khawatir dengan satu liter madu bunga poppy yang saya bawa, dan meminta saya untuk cek apakah bermasalah jika dibawa melintas pos imigrasi, apalagi Singapore yang terkenal dengan ketegasan dan hukuman mati, maka saya memastikan lagi cek di Google, dan kaget ketika memasukkan keyword “madu bunga poppy” yang muncul ternyata lebih banyak “Poppy Bunga Bulan Madu”, yakni salah satu artis sinetron Indonesia.




Karena keesokan harinya Tour Guide memutuskan untuk lebih cepat berangkat, maka lagi-lagi kami breakfast di jalan tol menuju Singapore tepatnya di rest area pertama. Salah menyetel alarm, saya dan istri bangun lebih cepat dan hanya tertidur sekitar tiga jam. Namun rombongan kami ternyata harus menunggu dua gadis Bali yang terlambat bangun. 

Sebelum masuk pos imigrasi Malaysia, kami makan di Yong Peng, salah satu lokasi tempat kediaman warga keturunan China yang kaya raya. Di Malaysia berbeda dengan Indonesia, mereka tidak menggunakan istilah Tionghoa untuk keturunan China. Bu Christine dengan bangga mengatakan saya adalah China tetapi China Malaysia. Daerah Yong Peng ini merupakan surga bahan tambang dan sudah dieksplorasi sejak bertahun-tahun yang lalu. Lalu kami menuju Gelang Patah untuk proses imigrasi, melewati Jembatan yang berbeda dengan saat kami datang menuju Singapore. Sama dengan Singapore, petugas imigrasi Malaysia tidak tertarik memeriksa bagasi kami, hanya dengan passport kami dapat melenggang kangkung melewati pos 
pemeriksaan. 






Catatan Perjalanan 


  • Jika dalam perjalanan sebelumnya saya sering mengecek anak-anak mengepak barang dan cek kamar mereka kalau ada apa apa yang ketinggalan, dalam perjalanan kali ini kami biarkan mereka untuk melakukan segala sesuatunya sendirian dan dengan tas mereka masing-masing. Beberapakali mereka bahkan sudah siap duluan dari kami, dan menunggu di lobby. Passport masih saya pegang untuk menjaga kalau ada apa-apa, namun sebelum masuk pos imigrasi saya minta mereka membawa sendiri dan memilih loket masing-masing. 


No comments: