Sunday, November 02, 2014

Perjalanan Haji : Tiba di Mekkah Part #4 dari 16


Karena sebelumnya sudah sempat umrah, kali ini saya tidak begitu kaget melihat sebagian jamaah sudah siap-siap berihram di pesawat, sementara saya memilih untuk  melakukannya setelah tiba di Jeddah.  Setibanya di Jeddah seperti biasa rombongan berhenti untuk makan dan mandi di rumah sewaan penduduk, untuk segera memulai tawaf di Mekkah. 

Sangat beruntung karena kami ternyata bisa langsung masuk ke kota Mekkah tanpa perlu menunggu terlalu lama di bandara, sedangkan belakangan baru kami tahu rombongan program 17 hari sempat terkatung katung saat mau masuk. 

Saat tiba di Makkah, mendadak saya ingat cerita seorang sahabat yang keheranan akan bersihnya Kabbah meski begitu banyak merpati berterbangan disekitar Mekkah, tiba-tiba dia menyadari kepala dan pakaian-nya terkena kotoran merpati saat itu juga.  Satu hal yang sering dilupakan orang, sebenar-nya Kabbah bersih karena memang penutup-nya (kiswah) dibersihkan atau bahkan diganti secara perodik. Sebagaimana Hajar Aswad harum ya memang karena di beri pewangi secara rutin oleh petugas. Namun demikian sudah selayaknya kita lebih fokus pada esensi Kabbah sebagai arah kiblat, atau Hajar Aswad yang menjadi saksi bagaimana semua suku dipersatukan oleh Nabi Muhammad dengan memberi kesempatan setiap perwakilan memegang pinggiran kain pengangkat-nya. 

Berbeda dengan saat umrah tahun 2009 dimana anak-anak terkena demam tinggi serta demam berdarah sehingga tidak bisa bersama sama mengunjungi lokasi tertentu seperti makam Khadijah RA. Kali ini kami bisa mengunjungi makam tersebut menuntaskan hutang setahun yang lalu. Namun wajah anak-anak rasanya selalu membayangi, sebagai keluarga yang sering jalan bersama-sama, rasanya aneh kali ini mereka tidak ikut dengan kami. 

Meski di Mekkah ada begitu banyak jamaah, namun tidak semua menjalankan ibadah-nya dengan baik. Seperti suatu hari saat seorang pria bersepatu boot dan dengan cuek-nya masuk ke daerah Ibu-Ibu di Masjidil Haram sehingga terpaksa saya tegur dengan keras. Sangat sulit untuk menahan diri melihat hal seperti ini, meski banyak yang mengatakan kunci kenikmatan ibadah Haji adalah kesabaran . Setelah ini masih berkali kali saya mengalami ujian kesabaran. 

Karena padatnya jamaah tawaf, sangat disarankan bagi yang menggunakan kursi roda, tongkat ataupun karena usia, menggunakan lantai  yang lebih tinggi. Saya beruntung sekali, mendapat kesempatan untuk menolong saat melihat seorang pria berkursi roda yang tak dapat melalui tangga. Meski lebih lega dan spektakulernya pemandangan, lantai atas memiliki rute keliling  yang lebih jauh. 

Tumit saya sempat berdarah beberapa kali ditabrak kursi roda sewaan, maklum disini ada banyak joki kursi roda yang sangat cepat mendorong kursinya untuk memastikan mereka mendapat pelanggan berikutnya tanpa harus kehilangan banyak waktu.   Dengan sangat terpaksa saya menegur si joki, meski setelahnya menyesal, karena “sabar” mestinya adalah salah satu perlengkapan wajib yang perlu dibawa jamaah. 

Saat menunggu Isya, saya dan istri memilih tempat favorit di lantai paling atas Masjidil Haram sambil menunggu adzan. Lokasi ini persis di depan jam Zamzam serta dekat dengan tiga kubah emas kembar. Saat umrah lantai atas baik di Nabawi maupun di Haram biasanya tidak dapat diakses. 




Salah satu hal yang sulit dilupakan di Mekkah adalah air zamzam yang berlimpah ruah. Jika di Indonesia kita harus berhemat karena persediaan yang sangat terbatas. Di sekitar Masjidil  Haram, kita benar-benar dipuaskan. Selain zamzam dengan suhu normal, juga disediakan zamzam dengan suhu dingin. Saya sendiri memilih untuk mencampur airnya, karena merasa masih terlalu dingin, tak heran di Masjidil Haram kita sangat sering mendengar jamaah batuk, karena terlalu sering meminum air zamzam dingin.  Jangan kuatir dengan air zamzam di Nabawi, pemerintah Arab Saudi sudah memiliki mekanisme untuk memastikan air zamzam juga dapat dinikmati di Nabawi. 

Untuk tawaf dinihari disarankan untuk datang jauh sebelum adzan Subuh, karena kadang setengah sampai satu jam sebelumnya jamaah sudah tidak diperkenankan untuk tawaf untuk memberikan kenyamanan bagi yang akan sholat. 

Saat letih, saya menyandarkan punggung ke dinding dengan telapak kaki menghadap Kabbah, namun seorang jamaah dari negara lain menegur saya, dan melarang untuk melakukan hal tsb. Maklum sejak remaja duduk bersila dalam waktu yang lama, selalu membuat kaki saya kesemutan. 



Sholat di Masjidil Haram juga mengingatkan kita akan mati, yang kelak akan mendatangi kita  tanpa di duga-duga. Hampir setiap hari selalu ada yang meninggal. Dan begitu diumumkan, maka berlangsunglah sholat jenazah. Saya jadi ingat postingan seorang teman yang mengatakan butuh berjam-jam untuk merapikan barisan jutaan , namun ternyata  di Masjidil Haram, saat sholat hanya dibutuhkan dua menit bagi jutaan jamaah untuk berbaris rapi saat shalat. 

Ada sedikit pengalaman konyol saat di Haram, berbeda dengan Madinah yang membatasi interaksi antara jamaah wanita dan pria, di Haram relatif tercampur. Saat sholat barisan manjadi begitu rapat dan jangan heran kalau tiba-tiba ada yang menabrak anda dari belakang atau menginjak tangan dan kaki anda saat sholat. Saya sendiri mengalami sujud di Haram namun saat duduk setelah sujud ternyata berada di Gua Hira, lahhh kenapa ? maklum kepala saya masuk dalam gaun hitam milik seorang ibu berbadan ekstra besar. 

Hal unik lainnya adalah rusaknya tumit, maklum di Haram semua pria tanpa alas kaki, melakukan sa’i dan lalu berkali kali tawaf di udara kering dan panas, menyebabkan tumit pecah-pecah. Adalah hal yang biasa melihat “kaligrafi” di tumit para jamaah. Namun bagi jamaah wanita, mereka justru menggunakan kaos kaki sehingga dampaknya relatif lebih ringan. 

No comments: