Thursday, May 23, 2013

Inspirasi dari Hongkong,Macau dan Shenzhen Part #15 of 18 Tiba di Shenzhen


Sesampai di Shenzhen, adik ipar sesuai survey yang dia lakukan saat di Jakarta mengatakan sebaiknya kami menaiki MTR menuju Lao Jie, namun karena melihat jarak dari stasion MTR yang cukup jauh,  istri sebaliknya memilih menggunakan taxi, Karena rombongan masih tidak sepakat, saya memutuskan untuk bertanya, lagi2 Tuhan mengutus seorang pria baik, yang mengatakan tidak ada MTR didekat terminal Ferry , untuk menuju kesana, kami harus menggunakan Taxi atau Bis.  Waduh sementara ada dua orang calo agresif yang terus menerus menawarkan jasa penyewaan mobil namun dengan tarif jahiliah sekitar 400 CNY, sementara menurut si pria tadi dengan taxi menuju kesana paling mahal sekitar 100 CNY. Akhirnya kami memutuskan naik taxi saja ke Colour Inn di Li Xin Road, Xin Hua Yuan Buiding 4th Floor. Dan dengan begitu saya meminta rombongan untuk mengabaikan saja calo2 di Ferry Terminal. Untuk jaga2 saya meminta anak saya ikut Oom-nya, sebalik-nya “Giring Nidji” ikut dengan saya.






Sepanjang jalan kagum saya tidak putus2 melihat kemajuan Shenzhen, jalan yang mulus, gedung2 pencakar langit, taman yang tidak habis2 sepanjang jalan, jalan layang, sempat juga lihat beberapa KIA Optima putih dengan anggun-nya lewat di depan mata. Namun begitu memasuki kota, ternyata mirip2 juga dengan Jakarta, perang klakson, saling serobot, jalan macet, pengendara motor yang melawan arus, taxi yang berputar seenaknya padahal jelas ada tanda dilarang memutar. Begitu juga di trotoar orang merokok dimana-mana, hemm kalau di Singapore sudah jadi masalah serius nih yang beginian. Disini VW jadi taxi, sementara kalau di Indonesia VW dianggap kelas menengah ke atas, pantas saja penjualan VW di China termasuk sangat tinggi.





Hemm sepertinya keputusan menggunakan taxi ini putusan yang salah, supir yang tidak mengerti huruf latin, dan semua dokumen yang berada di tangan saya (termasuk tiket, reservasi hotel, peta) plus supir taxi belakang yang sibuk menelepon, menyebabkan rombongan akhirnya terpisah. Supir taxi saya mengomel karena menganggap supir di belakang tidak mengikuti dia. Lantas dengan bahasa isyarat dia bertanya hotel apa ini, pasti hotel jelek, dan benar saja dia tidak tahu dimana hotel dimaksud, kami sudah melintasi Li Xin Road dari ujung ke ujung, namun tidak nampak jua hotel dimaksud. Sebaliknya adik ipar cerita dia mengomeli habis supir mereka karena lalai mengikuti kami, bahkan sempat dibentak dan di dorong oleh adik ipar yang naik emosi-nya.

Akhirnya saya turun, dan mulai bertanya, tetap saja tidak ada yang tahu, mulai dari cewek penjaga toko, cowok penjaga toko, tukang parkir, security sampai polisi. Rasa-nya saya berada di planet  lain yang menggunakan huruf yang sama sekali tidak bisa saya baca, dan orang2 yang sama sekali tidak mengerti bahasa yang saya gunakan. Polisi yang kasihan akhir-nya memanggil saya dan mengajak saya ke petugas Money Changer berwajah ganteng yang mengerti bahasa Inggris, setelah dia juga menyerah, saya mencoba menunjukkan peta, dan sepertinya dia tahu lokasi Laifa Fastfood Restaurant yang menjadi salah satu landmark di peta. Lalu setelah dia menunjukkan jalan, kami berjalan kaki di sepanjang trotoar Dongmen Middle Road, menuju lokasi dimaksud.

Saat bertanya tanya, kalau di Hongkong kita ketemu orang2 dengan tampang timur tengah yang menawarkan layanan apa saja, atau kulit hitam yang sebesar besar pemain basket NBA, di Shenzhen yang mendatangi kita wanita2 setengah baya yang membawa daftar menu operasi apa saja, mulai dari mata, bibir, alis, dll.

Setelah sampai di lokasi yang ditunjuk si petugas Money Changer, kembali saya bertanya tanya, namun tetap saja tidak ada yang tahu, sudah hampir satu jam keliling2 namun lokasinya tetap tidak ditemukan. Namun saya sudah menemukan Laifa Fastfood dengan bertanya plus mencocokkan huruf China satu persatu, waduh kepala bisa keriting nih baca jurus2 kungfu. Lalu saya bahkan sudah mencoba menaiki hampir setiap gedung berlantai empat, tetapi lokasi-nya tetap tidak jelas.  Perut sudah lapar dan sudah menjelang jam 16:00 sore waktu setempat.


Saat mulai putus asa mencari hotel sekaligus rombongan yang tercecer, mulai terpikir plan B, yaitu dengan makan di KFC terdekat, serta menunggu barang dua jam, kalau masih tidak ketemu, sepertinya kami harus mencari hotel lain dan lalu ke Bandara besok pagi. Namun kalau masih tetap tidak ketemu, terpaksa beli tiket untuk kembali ke Jakarta. Jika itu yang terjadi, hiks akan sangat menyedihkan akhir perjalanan di Shenzhen ini.

Namun Tuhan berkehendak lain, saat kembali ke lokasi istri, si bungsu dan ponakan menunggu, ternyata kedua adik ipar dan si sulung sudah bertemu istri, wajah mereka haru dan berkaca kaca. Wajar saja karena nyaris semua dokumen ada di saya sementara supir taxi mereka, benar2 tidak bertanggung jawab. Adik ipar saya dengan liirih mengatakan ini benar2 keajaiban Tuhan, yang mempertemukan kami disini. Mereka ternyata juga sudah berputar putar dan tetap tidak menemukan hotel, lalu anak saya mengusulkan untuk jalan kaki saja, tak lama setelah mereka turun dan berputar putar, istri dan ponakan perempuan saling melihat, dan jadilah pertemuan mengharukan ala Nabi Adam dan Hawa saat “dibuang” ke Bumi.

Setelah melepas rindu, Si Sulung dan bibi-nya kali ini mencoba mencari ulang, dan Alhamdulillah meski sudah bertanya pada puluhan orang yang nyaris semuanya tidak mengerti huruf latin, ada dua "chibi2" (kata anak saya) yang sangat ramah dan mengantar rombongan ke Colour Inn. Unik-nya dalam perjalanan ini kami sampai2 menyimpulkan, kalau anak2 muda menjadi sosok yang lebih "helpfull" dibanding orang2 tua.




Lega ketika bertemu, membuat saya terinspirasi mengingatkan anak2 bahwa perpisahan itu pasti datang-nya, hanya soal waktu saja, jadi selalu syukurilah kebersamaan. Al Ghazali pernah bertanya pada muridnya apa yang paling dekat dengan anda di dunia ini, namun semua murid-nya tak mampu menjawab dengan benar, lalu Al Ghazali menjawab "kematian".

Shenzhen sendiri adalah salah satu bukti keajaiban China dan salah satu kota yang pertumbuhan-nya paling cepat di dunia, atau bahkan mungkin dalam peradaban manusia. Tahun 1980 masih berupa sebuah kota kecil dengan penduduk 20 ribu orang dengan profesi nelayan dan pedagang sayur. Dan saat ini sudah menjadi salah satu kota Metropolitan yang tidak kalah dengan kota2 lain di dunia. Penduduk-nya rata2 bependidikan tinggi, namun saya agak sedikit heran dengan apa yang saya temukan di kamar hotel, kondom dan sejenis alat tambahan untuk hubungan intim, sepertinya ini menggambarkan seperti apa Shenzhen, artinya pola hubungan-nya sudah bisa dikatakan relatif bebas. Hemm jadi maju secara ekonomi belum tentu maju secara moral. Berbeda dengan Hongkong yang mengutamakan kota pelabuhan dan Macau mengutamakan judi dan pariwisata, Shenzhen mengutamakan industri, mulai dari IT, biologi, home appliances, telekomunikasi, dll.   Mata uang yang digunakan adalah CNY.






Kembali ke Hotel, ternyata sukurlah Colour Inn, hotel yang terdiri dari 122 kamar ini bagus, dan mebel-nya didesain ala IKEA, front office-nya juga sama menariknya dengan pramugari Xunlong, bahkan parasnya ada yang mengingatkan saya akan Gong Li artis besutan sutradara terkenal China Zhang Yimou. Kalau saya lihat sepintas bangunan hotel ini sepertinya bangunan tua, yang lantai 4-nya saja yang disulap menjadi hotel. Lalu akses-nya dibuat secara khusus dengan menggunakan lift langsung ke lantai tujuan. Dari lobby kami melewati satu anak tangga yang saya duga diakibatkan tambahan instalasi air bersih dan pembuangan ke masing2 kamar.


Setelah sholat dan istirahat sebentar, kami langsung menuju KFC untuk makan siang menjelang sore, dan lantas menuju Lao Jie Metro Station, untuk menuju ke Windows of The World. Hati2 dengan KFC di Shenzhen, ternyata KFC disini juga menjual daging Babi. Di KFC saya sempat berusaha berkomunikasi dengan tiga gadis Shenzhen yang ramah dan berusaha keras membantu saya menemukan restoran Muslim Chinesse Food, meski akhirnya tidak berhasil.  




Saat menuju Metro Station, kami sempat melewati lorong yang cukup besar dengan berbagai kios makanan di kedua sisi-nya. Ada penjual sate berukuran besar, dengan tusuk hampir setengah meter dengan berbagai macam jenis daging termasuk cumi2. Satu tusuk sekitar empat potong daging dengan ukuran daging masing2 hampir sebesar telapak tangan balita. Tertulis di kios2 sate huruf latin "Arabian Grill", dengan asap lemak yang terbakar dan membubung kemana-mana. Ada juga restoran yang menyediakan makanan dalam tempat berbentuk kloset, hemm melihatnya sih saya tidak selera. Hemm lokasi stasion ini masuk ke Mall, melewati kios2 pakaian dan asesories, sampai2 saya tidak yakin ini betul akses menuju stasion MTR atau tidak.


No comments: